Monthly Archives: February 2015

KONSEP DIRI ETNIS DAYAK YANG BERAGAMA ISLAM

KONSEP DIRI

Konsep diri adalah bagaimana kita memandang diri kita sendiri, biasanya hal ini kita lakukan dengan penggolongan karakteristik sifat pribadi, karakteristik sifat sosial, dan peran sosial. Berikut adalah penjelasan tentang penggolongan karakteristik sifat pribadi, karakteristik sifat sosial, dan peran sosial:

  1. Karakteristik pribadi

Karakteristik pribadi adalah sifat-sifat yang kita miliki, paling tidak dalam persepsi kita mengenai diri kita sendiri. Karakteristik ini dapat bersifat fisik (laki-laiki, perempuan, tinggi, rendah, cantik, tampan, gemuk, dsb) atau dapat juga mengacu pada kemampuan tertentu (pandai, pendiam, cakap, dungu, terpelajar, dsb.) konsep diri sangat erat kaitannya dengan pengetahuan. Apabila pengetahuan seseorang itu baik atau tinggi maka, konsep diri seseorang itu baik pula. Sebaliknya apabila pengetahuan seseorang itu rendah maka, konsep diri seseorang itu tidak baik pula.

  1. Karakteristik sosial

Karakteristik sosial adalah sifat-sifat yang kita tamplikan dalam hubungan kita dengan orang lain (ramah atau ketus, banyak bicara atau pendiam, penuh perhatian atau tidak pedulian, dsb). Hal hal ini memengaruhi peran sosial kita, yaitu segala sesuatu yang mencakup hubungan dengan orang lain dan dalam masyarakat tertentu.

  1. Peran sosial

Ketika peran sosial merupakan bagian dari konsep diri, maka kita mendefinisikan hubungan sosial kita dengan orang lain, seperti: ayah, istri, atau guru. Peran sosial ini juga dapat terkait dengan budaya, etnik, atau agama. Meskipun pembahasan kita mengenai ‘diri’ sejauh ini mengacu pada diri sebagai identitas tunggal, namun sebenarnya masing-masing dari kita memiliki berbagai identitas diri yang berbeda (mutiple selves). Identitas berbeda atau multiple selvesadalah seseorang kala ia melakukan berbagai aktivitas, kepentingan, dan hubungan sosial. Ketika kita terlibat dalam komunikasi antarpribadi, kita memiliki dua diri dalam konsep diri kita.

 

SUKU DAYAK

Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari ribuan pulau dimana pulau-pulau tersebut didiami oleh etnis-etnis tertentu. Sebagai contoh di Sumatera dihuni oleh etnis Minangkabau dan Batak, di Jawa dihuni oleh etnis Sunda dan Jawa, di Kalimantan dihuni oleh etnis Dayak dan Banjar, di Sulawesi di huni oleh etnis Toraja dan Bugis, di Irian dihuni oleh etnis Dani dan Asmat.

Etnis merupakan gabungan manusia yang mengucapkan satu bahasa dan mempunyai satu rasa identitas komunitas yang khusus, tinggal di suatu wilayah geografis dengan ciri-ciri ekologi yang sama, mempunyai pengalaman sejarah yang biasanya sama, biasanya saling berinteraksi secara intensif dan dengan frekuensi yang tinggi (Clifton dalam Koentjoroningrat, 1990).

Etnis Dayak sebagai salah satu etnis di Indonesia, merupakan etnis terbesar yang menghuni pulau Kalimantan. Etnis ini tersebar merata mulai dari Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan hingga Kalimantan Timur. Etnis Dayak umumnya tinggal di daerah aliran sungai dan daerah pantai. Hal ini dapat diketahui dengan tumbuhnya kota-kota ditepi sungai besar, seperti Pontianak yang berada di muara sungai Kapuas, Palangkaraya yang berada di tepi laut Jawa, Banjarmasin yang berada di aliran sungai Barito, Balikpapan dan Samarinda yang berada di tepi selat Makassar.

Menurut kepercayaan Dayak, asal–usul nenek moyang suku Dayak diturunkan dari langit yang ketujuh ke dunia dengan menggunakan Palangka Bulau (tandu suci yang terbuat dari emas). Mereka diturunkan dari langit ke dunia di empat tempat yaitu: di Tantan Puruk Pamatuan di hulu Sungai Kahayan dan Barito, di Tantan Liang Mangan Puruk Kaminting (Bukit Kaminting), di Datah Takasiang, hulu sungai Rakaui (Sungai Malahui Kalimantan Barat), dan di Puruk Kambang Tanah Siang (hulu Barito). Dari tempat–tempat tersebut kemudian tumbuh dan berkembang dalam tujuh suku besar yaitu: Dayak Ngaju, Dayak Apu Kayan, Dayak Iban  dan Hebab, Dayak Klemantan atau Dayak Darat, Dayak Murut, Dayak Punan dan Dayak Ot Danum. (Cyberborneo, 2003).

Kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Dayak pada awalnya adalah Hindu Kaharingan yang berarti “air kehidupan” (Koentjaraningrat, 1990). Agama Islam mulai berkembang sejak abad ke-XV ketika kerajaan Hindu Mulawarman mengalami kemunduran. Agama Islam di Kalimantan berkembang dengan pesat terutama di daerah pesisir selatan mulai dari Balikpapan di Kalimantan Timur, Banjarmasin di Kalimantan Selatan hingga Palangkaraya di Kalimantan Tengah.

Penyebaran Islam ini melalui interaksi dan pernikahan antara etnis Dayak dengan etnis pendatang yang beragama Islam seperti Madura, Jawa, Arab dan Melayu. Adanya interaksi dan perkawinan campuran tersebut banyak mendorong etnis Dayak untuk masuk Islam, sedangkan etnis Dayak yang tidak mau memeluk agama Islam umumnya menyingkir ke pedalaman dan mempertahankan adat istiadat. Sehingga terjadilah pameo, etnis Dayak yang beragama Islam umumnya tinggal di pesisir pantai dan orang Dayak non Islam mengungsi di pedalaman.

Istilah Dayak Islam terdengar sedikit asing bagi telinga orang di Banjarmasin. Penyebutan nama “Dayak” identik dengan penduduk lokal Kalimantan yang beragama Kristen atau yang beragama adat. Sementara yang muslim umumnya dipandang sebagai orang Melayu.

Padahal orang Dayak beragama Islam bukanlah hal yang aneh. Berdasarkan penelusuran Republika Online pada bulan Maret 2001 (Institut Dayakologi, 2002), 65 % orang Dayak Ngaju, Maanyan, Ut Danum di Kalimantan Tengah beragama Islam. Sebab di Kalimantan Tengah, agama apapun mereka jika berdarah Dayak, mereka tetap mengakui dirinya Dayak. “Di sana tidak ada persoalan agama, meskipun dalam keluarga sendiri orang bebas menentukan pilihan hidupnya,” cerita Utami, Puteri Dayak Islam dari pasangan Dayak Kayan dan Ngaju Kalteng yang aktif di Department For International Development (DFID), sebuah lembaga penyantun yang berpusat di London.

Perkembangan zaman ternyata membawa pengaruh terhadap eksistensi atas identitas etnis. Hal ini dapat dilihat bahwasannya tidak ada kecanggungan untuk mengenalkan diri sebagai etnis Dayak meskipun telah beragama Islam. “Dayak adalah identitas keturunan, sedangkan agama adalah rahasia manusia dengan Tuhan,” kata Alamsyahrum (Institut Dayakologi, 2002).

Alamsyahrum (Institut Dayakologi, 2002) juga menjelaskan bahwasannya faham adat istiadat Dayak masih tetap dipertahankan oleh Orang Dayak yang beragama Islam. Meskipun sebagian besarnya sudah dipengaruhi ajaran Al-Quran. “Adat-istiadat tetap kami pertahankan. Sebab agama tidak bisa memisahkan darah. Agama juga tidak bisa mengubah budaya seseorang,” katanya.

Keberadaan etnis Dayak yang beragama Islam merupakan hal yang berkaitan erat dengan konsep diri. Keterkaitan itu dapat diketahui dengan pemakaian atribut muslim oleh etnis Dayak yang beragama Islam. Atribut tersebut dapat berupa jilbab, songkok, baju koko, sarung dan baju muslimah. Menurut Pudjijogyanti (1995), konsep diri merupakan sikap dan pandangan individu terhadap seluruh keadaan dirinya.

Pendapat lain dikemukakan oleh Brooks (Rakhmat, 2000) yang menyatakan bahwa konsep diri sebagai persepsi mengenai diri individu baik secara fisik, psikis dan sosial yang diperoleh melalui pengalaman-pengalaman dan interaksi individu dengan orang lain.

Berzonsky (Cahyaningrum, 2002) menyatakan lebih lanjut bahwa ada empat aspek konsep diri, yaitu:

  • Aspek fisik yaitu penilaian seseorang terhadap sesuatu yang dimilikinya.
  • Aspek psikis yaitu meliputi pikiran, perasaan dan sikap terhadap dirinya.
  • Aspek sosial yaitu peranan sosial yang dimainkan individu dan penilaian orang lain terhadap perannya.
  • Aspek moral yaitu meliputi nilai– nilai dan prinsip–prinsip yang memberi arti dan arah bagi kehidupan seseorang.

Konsep diri mempunyai peranan penting dalam menentukan perilaku individu. Bagaimana individu memandang dirinya akan tampak dari seluruh perilakunya. Apabila individu memandang dirinya sebagai orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan sesuatu, maka seluruh perilakunya akan menunjukkan kemampuannya. Demikian pula sebaliknya apabila individu memandang dirinya sebagai orang yang tidak mampu, maka seluruh perilakunya akan menunjukkan ketidakmampuan. Pandangan individu tentang dirinya tersebut dipengaruhi oleh peristiwa belajar dan pengalaman, terutama yang berhubungan erat dengan dirinya, seperti harga diri, kegagalan dan kesuksesan (Surachman dalam Rahmah, 2003).

 

KONSEP DIRI ETNIS DAYAK YANG BERAGAMA ISLAM

Sebutan etnis Dayak atau orang Dayak pada masa lalu merupakan sebutan untuk orang-orang yang hidup di pedalaman, yang masih memelihara adat istiadat, hukum adat dan budaya yang khas. Walaupun mereka hampir tidak pernah menyebut dirinya etnis “Dayak”. Mereka umumnya menyebut dirinya orang Iban, orang Kanayan, orang Bekati’, orang Mualang, orang Desa, orang Ribun, orang Embaloh, orang Taman, orang Pesaguan, orang Simpakang, orang Jalai, dan sebagainya. Kata “orang” artinya Dayak. (Institut Dayakologi, 2002).

Institut Dayakologi (2002) menyebutkan bahwa Dayak bukanlah identitas yang mengacu pada satu komunitas saja. Dayak adalah sebutan kolektif terhadap sekitar 405 kelompok etnolinguistik yang mendiami pulau Borneo. Mereka menamakan atau dinamakan Iban, Kayan, Kenyah, Kanayan, Maanyan, Ngajuk, Uut Danum, Bidayuh, Simpang, Pompakang, dan lain-lain. Menurut para peneliti, penamaan ini berdasarkan kesamaan hukum adat, ritual kematian dan bahasa. Sebenarnya penamaan sub-suku Dayak juga dapat didasarkan pada letak geografis kawasan adat mereka.

Physical self

Bagaimana seseorang memandang kesehatan, penampilan, kelebihan dan kekurangannya secara fisik. Secara umum etnis Dayak memiliki penampilan fisik yang sama dengan orang Indonesia pada umumnya, tetapi etnis Dayak memiliki beberapa keunikan antara lain berwajah bulat, bermata sipit, berkulit putih kekuning-kuningan, berambut hitam dan mempunyai tubuh yang kuat. Subjek menggambarkan dirinya secara fisik tidak jauh berbeda dengan orang pada umumnya. Subjek mengakui kalau mempunyai kekurangan, tetapi kekurangan yang dimiliki tidak mengganggu penampilan dan aktivitas sehari-hari. Selain itu, subjek bersyukur atas segala yang diberikan Tuhan.

Pembentukan konsep diri secara fisik ini merupakan bagian dari komponen afeksi. Yakni penilaian individu terhadap diri sendiri. Penilaian ini akan membentuk penerimaan terhadap diri dan harga diri seseorang.

Mengutip dari Pudjijogyanti (1995) penciptaan konsep diri ini di pengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain pencitraan fisik. Apa yang disebutkan oleh subyek dalam penelitian ini mengindikasikan bahwa ada konsep diri yang positif dimana subyek merasa bersyukur atas kondisi fisik yang ada walaupun kekurangan itu ada.

Family self

Bagaimana seseorang memandang dirinya dalam hubungannya dengan orang-orang yang sangat dekat dengan dirinya. Dalam menjalankan fungsi sosial dan komunikasi dengan anggota keluarga, dapat disimpulkan bahwa di dalam lingkungan keluarga, diantara anggota etnis Dayak saling menceritakan masalah yang dimiliki.

Pola hubungan dan komunikasi yang terbuka menjadikan hubungan antara subyek dengan keluarga menjadi harmonis dan minim konflik. Proses inilah yang mengiringi pembentukan konsep diri yang positif dalam diri etnis Dayak Islam.

Dukungan dari pihak keluarga menjadi salah satu faktor terpenting dalam pembentukan konsep diri. Seperti yang disebutkan oleh Mc Candless (dalam Pujijogyanti, 1995) mengatakan bahwa orang penting disekitar individu adalah orang tua dan saudara-saudara yang tinggal di bawah satu atap. Dari merekalah secara perlahan-lahan individu membentuk konsep diri. Segala sanjungan, senyuman, pujian dan penghargaan, akan menyebabkan penilaian positif terhadap individu. Sedangkan ejekan, cemoohan dan hardikan, akan menyebabkan penilaian yang negatif terhadap dirinya.

Social self

Bagaimana seseorang memandang dalam hubungannya dengan orang lain. Pembentukan konsep diri dalam hubungannya secara sosial ternyata dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman psikologis dan internalisasi yang merupakan produk sosial. Ada perubahan konsep diri yang dialami oleh subyek sebagai etnis Dayak setelah memeluk agama Islam.  Secara perlahan, subyek bisa membuka diri, berkomunikasi dengan luar dan bersosialisasi dengan masyarakat.

Lindgren (dalam Pudjijogyanti, 1995) menyatakan bahwa konsep diri seseorang terbentuk karena adanya interaksi seseorang dengan orang-orang di sekitarnya. Dari interaksi ini lahirlah struktur, peran dan status sosial seseorang.

Peran dan status sosial yang terbentuk sebagai hasil interaksi ini menjadikan subyek dapat bertanggung jawab dan mempunyai motivasi untuk berkembang dari kepribadian tertutup menjadi sedikit terbuka, sehingga subjek mampu mengatasi suatu permasalahan bersama- sama dengan orang lain. Selain itu, sebagai bagian dari masyarakat subjek juga dituntut untuk dapat mengendalikan emosi yang dimilikinya dengan tidak berperilaku agresif atau emosional dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.

Personal self

Sikap seseorang terhadap dirinya, baik secara sadar maupun tidak sadar. Menjadi sebuah kelaziman jika dalam hidup ini muncul pertentangan dalam diri. Pertarungan batiniah ini biasanya menyangkut tentang keyakinan akan mampu tidaknya berbuat sesuatu.

Hal ini juga dialami oleh subyek penelitian dimana ketidakyakinan atas kemampuan diri yang ada menyebabkan munculnya rasa cemas dan takut dalam diri subyek. Menurut Pudjijogyanti (1995), konsekuensi dari adanya dilema dan kesadaran individu terhadap kualitas kemampuannya menyebabkan individu lebih suka tidak mewujudkan kemampuannya, sebab hal ini dipandang tidak menuntut kerja keras. Padahal ketidakinginan untuk bekerja keras akan menyulitkan individu untuk mengembangkan diri.

Moral ethical self

Merupakan gambaran seseorang terhadap hubungannya dengan Tuhan dan peraturan-peraturan atau norma-norma hidup yang berlaku (Fitts dalam Budi, 2002).

Keidentikan etnis Dayak dengan penduduk lokal Kalimantan yang beragama Kristen atau yang beragama adat pada awalnya menjadikan masalah tersendiri. Keyakinan akan beragama sebagai sebuah hak azasi menjadikan subyek mampu untuk menghindari konflik tersebut.

Pengalaman spiritual yang dialami subyek menjadi motivasi tersendiri bagi subyek untuk mendalami agama Islam. Motivasi untuk mendalami agama Islam ini diwujudkan dalam bentuk ibadah-ibadah dalam agama seperti sholat sunah dan wajib, membaca Al-Qur’an, serta memahami dan mengamalkan aturan-aturan yang berlaku didalam agama Islam.

Pengalaman-pengalaman hidup dan kejadian-kejadian yang dialami individu sangat berperan dalam menciptakan pemikiran seseorang, sehingga membentuk suatu paradigma yang melekat pada pikirannya (Agustian, 2001).

Hal ini sesuai dengan pendapat Robertson (dalam Soelasman, 1998) bahwa kepercayaan, praktek, pengalaman, dan pengetahuan keagamaan berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari. Individu juga memohon ampun kepada Tuhan bila berbuat salah. Kesalahan tersebut diperbaiki dengan cara berbuat kemaslahatan.